Kajian bersama Ustadz Wijayanto dalam Syawalan Akbar SMP IT Masjid Syuhada

  • Wednesday, 2 June 2021
  • 1,038 view
Kajian bersama Ustadz Wijayanto dalam Syawalan Akbar SMP IT Masjid Syuhada

Sejatinya, anak-anak itu terlahir dalam keadaan fitrah (suci). Orangtuanya-lah yang akan menjadikan anak itu berkembang menjadi siapa dan seperti apa. Jangan harap anak bisa menjadi pribadi yang shalih jika orangtuanya belum berperilaku shalih terlebihdahulu. Selain itu, orangtua juga merupakan pihak yang berperan penting dalam menjadikan anak sebagai pembawa kebaikan atau malah pembawa celaka bagi mereka di akhirat. Karenanya, tugas mendidik anak adalah sebuah tanggungjawab yang besar bagi para orangtua sehingga harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya.

Hal tersebut adalah salah satu poin yang disampaikan Ustadz Wijayanto dalam kajian daring yang dilaksanakan SMP IT Masjid Syuhada, Selasa (1/6) lalu. Kajian ini diselenggarakan dalam rangka Syawalan Akbar Keluarga Besar SMP IT Masjid Syuhada yang bertajuk “Anakku Investasi Akhiratku”. Acara tersebut dilakukan secara daring melalui Zoom Meeting dan Live Youtube yang dapat diakses di akun official SMP IT Masjid Syuhada. Kajian ini diikuti oleh segenap ustadz/ustadzah, orangtua/wali, dan para siswa SMP IT Masjid Syuhada.

Dalam pemaparannya, Ustadz Wijayanto banyak menyorot fenomena gawai (smartphone) yang seringkali malah menghambat pola parenting dan komunikasi antaranggota keluarga. Gawai dengan segala kecanggihan yang ditawarkannya memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia modern dewasa ini. Meski demikian, kita tidak bisa menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk mengabaikan efek laten gawai yang secara nyata bisa berdampak buruk pada hubungan antaranggota keluarga, baik dalam aspek komunikasi, sosialisasi, pemberian afeksi, maupun pola asuh.

Dalam konteks penggunaan gawai, pihak orangtua harus menjadi penanggungjawab utama. Orangtua hendaknya menerapkan kontrol penuh terhadap penggunaan gawai pada anak. Terlebih pada anak yang belum berusia 14 tahun, yang mana pada usia tersebut anak cenderung memanfaatkan gawai untuk hal-hal yang bersifat hiburan. Jika perlu, orangtua tidak perlu memberikan gawai pribadi pada anak karena asas mudharat-nya dirasa lebih besar dari asas manfaatnya.

Begitu pula ketika anak menginjak usia remaja. Kontrol penggunaan gawai dari orangtua pada anak mutlak diperlukan sekalipun anak dirasa sudah memiliki kontrol mandiri terhadap dirinya. Hal ini tidak lepas dari pesatnya persebaran arus informasi yang nyaris tanpa filter, tren media sosial yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan ancaman konten-konten yang tidak senonoh yang bisa diakses kapan saja. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi para orangtua. Ustadz Wijayanto menambahkan, bahwa dalam persoalan gawai ini, kunci utamanya terletak pada kontrol dari orangtua serta penerapan kedisiplinan (pembatasan penggunaan gawai) pada anak.

Selain persoalan gawai, Ustadz Wijayanto juga mengingatkan beberapa fungsi rumah dalam Islam yang hendaknya direalisasikan oleh setiap keluarga muslim. Disebutkan empat fungsi rumah dalam Islam, antara lain Musholla, Madrasah, Junnah, dan Maskanah.

Musholla, artinya rumah kita harus menjadi tempat beribadah dan mencari keridhaan Allah. Dalam kondisi seperti apapun, baik rumah besar maupun kecil, lapang maupun sempit, hendaknya kita berupaya untuk menjadikan rumah sebagai tempat ibadah. Ustadz Wijayanto berpesan bahwa pembiasaan ibadah kepada anak tidak bisa dilakukan dengan perintah dan paksaan semata, melainkan harus dengan keteladanan. Kebersamaan antaranggota keluarga dalam beribadah—antara orangtua dan anak—tentu akan menambah keharmonisan dan kedekatan hubungan emosional di dalam keluarga dalam rangka mencari keridhaan Allah.

Madrasah, artinya kita harus menjadikan rumah sebagai tempat terselenggaranya proses pendidikan dan pembelajaran dalam keluarga. Dalam hal ini, orangtua mutlak harus mendidik anaknya dengan kaidah-kaidah akhlaq dan agama dengan baik. Karena tujuan utama setiap orangtua adalah menjadikan anaknya sebagai orang yang shalih, sebagaimana doa: “Rabbi habli minashaaliihin…” Orangtua tidak bisa membebankan sepenuhnya tugas pengajaran dan pendidikan anak pada institusi sekolah/pondok. Orangtua hendaknya tetap mampu memposisikan dirinya sebagai guru terbaik bagi anak. Untuk itulah, orangtua perlu meluangkan waktu untuk menemani anak belajar, mendidik anak, meneladankan sikap dan perilaku positif tanpa terdistraksi oleh hal-hal lain, seperti tayangan TV atau masalah  gawai seperti yang telah dibahas sebelumnya.

Junnah, artinya rumah kita harus mampu menjadi tempat berlindung yang membentengi keluarga dari segala kerusakan aqidah dan penyakit-penyakit sosial. Dalam hal ini, apa yang ada di dalam rumah seyogyanya bersih dari segala macam objek negatif yang bisa merusak aqidah anggota keluarga seperti berhala, pusaka keramat, jimat, dan konten pornografi.

Maskanah, artinya rumah kita harus bisa menjadi tempat pelipur lara, pelepas rindu, dan sumber ketenangan keluarga. Poin ini bisa diwujudkan dengan cara membina hubungan kekeluargaan dan pola komunikasi yang baik antaranggota keluarga. Jangan sampai dalam rumah tersebut terjadi banyak pertengkaran, percekcokan, bentakan, umpatan, cacian, bahkan serapah yang semuanya malah akan membawa mudharat yang besar bagi keluarga yang bernaung di dalam rumah tersebut.

Setelah tuntas memaparkan materinya, Ustadz Wijayanto memberikan waktu khusus untuk menjawab beberapa pertanyaan audience. Antusiasme audience sangat tinggi sehingga banyak pertanyaan yang dilontarkan, baik yang langsung maupun via chat. Karena keterbatasan waktu, tidak semua pertanyaan bisa dibahas. Kajian Ustadz Wijayanto ini berlangsung hingga pukul 5 sore. Meski begitu, semoga kajian tersebut tetap mampu memberikan manfaat bagi para audience, dan semakin memotivasi orangtua untuk mendidik putra-putrinya menjadi generasi yang shalih-shalihah.[]