KISAH LELAKI PENGHUNI SURGA “SA’AD BIN ABI WAQQASH”

  • Thursday, 22 March 2012
  • 5,924 views
KISAH LELAKI PENGHUNI SURGA “SA’AD BIN ABI WAQQASH”

Alkisah pada zaman Rasulullah SAW, ada seorang pemuda yang sangat patuh kepada ibundanya. Ia begitu menyayangi wanita yang telah merawatnya sejak kecil dengan penuh kasih sayang. Pemuda itu bernama Sa’ad bin Abi Waqqash. Sedang sang ibu bernama Hamnah binti Sufyan bin Abu Umayyah.

Ia adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik nan anggun. Di samping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh ke depan. Ia juga setia kepada agama nenek moyangnya, yakni penyembah berhala.

Berbeda dengan ibunya, Sa’ad memeluk agama Islam saat berusia 17 tahun. Keislamannya ditandai dengan mengucapkan 2 kalimat syahadat ketika menemui Rasulullah SAW. Pada saat itu, Sa’ad termasuk dalam deretan lalaki pertama yang memeluk agama Islam selain Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As Siddiq dan Zaid bin Haritsah.

Seiring berjalannya waktu, ibunya mengetahui bahwa anaknya telah memeluk agama lain selain menyembah berhala. Wanita itu pun lantas marah dengan keislaman Sa’ad. “Wahai Sa’ad, apakah engkau rela meninggalkan agamamu dan agama bapakmu, untuk mengikuti agama baru itu? Aku tidak akan makan dan minum sebelum engkau meninggalkan agama barumu itu,” ancam sang ibu. Lalu Sa’ad menjawab, “Demi Allah SWT, aku tidak akan meninggalkan agamaku!”

Namun, sang ibu tetap bersikukuh agar anakmya kembali menyembah berhala. Ia mengetahui bahwa Sa’ad sangat menyayangi dirinya, hingga ia mengancam untuk mogok makan. Hamnah berharap Sa’ad akan luluh dan dapat terketuk hatinya jika melihatnya dalam keadaan lemah dan sakit. Namun Sa’ad lebih mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya. “Wahai Ibunda, demi Allah SWT, seandainya engkau memiliki 70 nyawa dan keluar satu per satu, aku tidak akan pernah mau meninggalkan agamaku selamanya !,” tegas Sa’ad.

Akhirnya, sang ibu yakin bahwa anaknya tidak mungkin kembali seperti sedia kala. Dia hanya dirundung kesedihan dan kebencian. Peristiwa yang dialami oleh Sa’ad tercantum dalam ayat Al Quran, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman : 15).

Pada suatu hari Rasulullah SAW, sedang duduk bersama sahabat, tiba-tiba beliau menatap ke langit seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasulullah SAW kembali menatap mereka dengan bersabda, “Sekarang akan ada di hadapan kalian seorang laki-laki penduduk surga.” Mendengar ucapan Rasulullah SAW, para sahabat menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah, untuk melihat siapakah gerangan lelaki berbahagia yang telah menjadi penduduk surga. Tidak lama berselang datanglah laki-laki yang ditunggu itu, dialah Sa’ad bin Abi Waqqash.

Selain dikenal sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, sejarah mencatat ada dua hal yang dikenal orang mengenai kebaikannya. Pertama, Sa’ad adalah orang pertama yang melepaskan anak panah dalam membela agama Allah SWT dan juga orang yang mula-mula pertama terkena anak panah. Ia hampir selalu menyertai Rasulullah SAW dalam setiap pertempuran. Maka tak heran bila Sa’ad adalah satu-satunya orang yang diberikan jamninan kedua orang tua Rasulullah SAW. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam Perang Uhud, “Panahlah, wahai Sa’ad! Ayah dan Ibuku menjadi jaminan bagimu.”

Kedua, Sa’ad adalah orang ke tiga yang memeluk Islam. Sebagaimana Sa’ad bin Abi Waqqash mengenalkan dirinya dengan berkata, “Aku adalah orang ketiga yang memeluk Islam, dan orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah SWT.”

Demikianlah kisah Sa’ad bin Abi Waqqash yang menghembuskan nafas terakhir pada tahun 55 H karena sakit dan dimakamkan di pemakaman Baqi’. Sebelum ajal menjemputnya, ia berpesan kepada anaknya, “Aku memiliki mantel yang terbuat dari wol. Dulu aku mengenakannya pada saat berhadapan dengan orang-orang musyrik di Perang Badar. Nanti kalau aku mati, aku ingin bertemu Allah SWT dengan mengenakan pakaian itu. Kafanilah aku dengan mantel tersebut.” Wallahu a’lam bisshowab. (Majalah Yatim Mandiri, dari berbagai sumber)